Sketsa Untuk Putri Ku

Estimated read time 6 min read

Soundtrack –Jealous,Labrinth

Kurasa, Jogja bagaikan cup cake yang memikat selera.

Aku duduk sambil memandangi lampu-lampu kecil yang membelit tiang lampu taman di depan ku seraya menyilangkan kaki yang terbalut celana bahan katun tipis yang cukup nyaman. Aroma petrichor yang masih semerbak tercampur dengan aroma roti bakar, kini menerpa penciumanku. Aku masih saja diam seribu bahasa bak orang bisu yang suaranya tertahan di tenggorokan, seraya menatap nanar amplop coklat di genggaman, ingin sekali aku remas hingga mengkerut, namun niat itu ku urungkan, mengingat ada seseorang yang harus kuberitahu tentang hal ini.

Mata ku beralih –memandang lurus ke depan, memandangi objek yang sangat menarik untuk ku tatap lebih lama lagi. Di depan sana, seorang pria paruh baya tengah duduk membelakangi ku, rambutnya yang sedikit memutih terlihat rapi, kaos berwarna navy yang ia kenakan terlihat kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Namun, bukan itu yang membuatku sungguh tertarik dengan pria tersebut. Perawakannya yang tinggi besar sungguh terasa familier dalam naluri ku. Apa mungkin itu … ?

Aku berdiri, berjalan perlahan menuju bangku pria itu sambil memasukan tangan kiri ku ke dalam saku jaket yang aku kenakan. Sepertinya pria itu sedang menggambar sesuatu di sebuah sketch book berwarna kekuningan. Nafasku tercekat saat aku berhenti tepat di belakangnya. Dari belakang nya aku dapat melihat separuh wajahnya yang sudah dipenuhi kerutan halus, ia tersenyum tipis saat sketsa  yang ia kerjakan telah selesai. Sebuah sketsa rumah yang sungguh aku hafal betul penciptanya.

Kaki ku bergetar, nafasku rasanya sesak, dan yang paling parah adalah mataku mulai memanas. Pria itu menghentikan aktivitas menggambarnya saat dirasa ada seseorang dibelakangnya yang diam-diam memperhatikannya.

Kemudian ia berbalik dan netra kami yang serupa bertabrakan, saling menatap dengan tatapan sendu. Tatapan paling pilu yang pernah aku lihat dan rasakan sepanjang hidup.

Tiba-tiba ia berdiri menghadapku. Dan kini aku dapat melihat sorot matanya, mata itu mengatakan betapa ia sangat kacau di balik penampilannya yang begitu baik-baik saja.

Matanya yang kecil nampak hampir tenggelam di antara kelopak matanya yang mengendur, kulit putihnya yang dulu bersih kini dipenuhi dengan flek hitam. Kerutan wajahnya hinggap di mana-mana.

Ada satu yang tidak berubah, yaitu senyumnya, senyum yang terpatri di wajahnya yang selalu lembut saat menatapku dengan penuh cinta. Kini tubuhku tidak kuat lagi, lututku rasanya mendadak seperti agar-agar yang rapuh. Aku menahan bobot dengan berpegangan pada sandaran gazebo taman dengan cengkraman kuat.

Satu pertanyaan yang kini menggerayangi kepalaku. Kenapa dia berada di sini? Padahal aku bilang kepadanya bahwa aku akan menemuinya, dua hari lagi.

“Pa … Papa,” lututku masih ngilu untuk ku paksa berdiri dengan tegak. Aku benci perasaan ini, perasaan yang menyangkal bahwa aku sangat merindukannya.

“Ara,” meskipun senyum masih terpatri namun tidak dapat dipungkiri bahwa dia sedikit terkejut, lalu membantuku untuk duduk di sampingnya.

“Papa ngapain di sini?” aku bertanya lalu menatap matanya langsung.

“Papa sedang ada pekerjaan di sini, rencananya besok terbang ke Jakarta, buat ketemu kamu. Kamu yang ngapain di sini?” Ah iya, Papa adalah seorang Arsitek yang selalu kebanjiran pekerjaan karena timnya sangat hebat.

“Ara lagi liburan. Lagi ingin lihat Jogja sekali lagi,” balasku. Lalu, hening.

“Papa, yang ingin Ara bicarakan lebih baik kita bicarakan sekarang,” ucapku lalu ia mengangguk, setia menungguku yang siap untuk membuka suara.

“Selama enam tahun tanpa Papa, Ara merasa hari Ara sangatlah berat. Meskipun sudah biasa Papa tinggal ketika Ara kecil. Bahkan sikap Ara dulu sangat disayangkan. Ara selalu marah sama Papa, maaf ya Pa,”

“Ara kan masih 14 tahun, masih anak-anak, Nak,” aku mengangguk.

“Lalu, saat Ara SMA, Ara merasa Papa hilang tanggung jawab terhadap Ara, padahalkan Papa rutin kirim uang untuk Ara,”

“Tapi itu tidak cukup. Maaf,” Papa memotong ucapanku, ia menekuk wajah dengan bertumpu pada sebelah tangannya.

“Ara sangat naif, saat itu Ara sangat hancur, Ara sudah berubah total sejak Papa pergi. Ara lebih tertutup, lebih menikmati semuanya sendirian.Tidak memiliki siapapun untuk pulang,

“Orang-orang selalu menilai Ara, menganggap Ara tidak lebih hanya anak yang dibuang oleh orang tua nya, sendirian, dan menyedihkan. Ara paham beban Papa berat, makanya Ara tidak pernah menceritakan semua ini pada siapapun. Pastinya mereka terbebani,” aku menghela napas, air mata sudah menggenang di pelupuk mata, jika saja aku tidak menggigit lidahku kuat-kuat, tangisku sudah pecah.

Akhirnya, aku mengakui bahwa aku adalah seorang gadis lemah yang berusaha menelan beban mental sendirian, aku menceritakan semuanya, aku yang tidak pernah percaya pada diri sendiri, aku yang sangat terluka parah.

“Tapi, sekarang Ara sedikit lega atas diri Ara sendiri, dan Ara akui pernyataan barusan sangat egois. Ara sedikit lega bahwa … sebentar lagi Ara akan bebas dari semua hal yang membuat Ara terluka,

“Ara sangat sayang pada Papa, meski Papa sudah menyakiti Ara, maafkan Ara yang selalu membuat Papa susah, dan terima kasih karena sudah mau menjadi orang tua yang sangat menyayangi Ara dengan cara yang berbeda,” aku tersenyum di sela air mata yang sudah berjatuhan ke pipi, Papa mendongak, menatapku dengan tatapannya yang sendu.

Aku tahu, Papa menahan tangisnya demi terlihat tegar di depan putrinya. Kebiasaan buruknya memang payah –selalu memendam semuanya sendirian, menelan beban sendirian, dan terluka sendirian, tidak jauh berbeda dengan ku. Tentu saja karena aku putrinya.

Aku menyerahkan amplop coklat pada Papa, dan ia membukanya, membacanya dengan mata yang sedikit menyipit. Dia menegang, dapat ku lihat juga tangannya bergetar.

Setelah menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan –mencoba untuk menenangkan diri sendiri. Setelah itu, aku menarik lepas rambut panjang yang sedari tadi membingkai wajahku. Dapat ku lihat mata Papa membulat sempurna, sketch book yang berada di pangkuannya luruh ke tanah. Tangannya terangkat untuk menyentuh kepalaku yang sudah tidak ditumbuhi oleh sehelai rambutpun.

Dapat ku rasakan tangannya mengusap lembut puncak kepalaku, aku sangat terluka ketika melihat ia menatap kepalaku dengan berlinang air mata. Papa menarik tangannya lalu mengusap kasar air mata dan langsung menyambar buku sketsa yang tadi terjatuh. Ia mulai menggoreskan pensilnya di permukaan kertas. Bahkan permukaan kertasnya dihujani oleh air matanya yang menetes.

“Ini, sketsa untuk putri Papa yang cantik, meski tanpa rambut, tapi Ara sangat cantik di mata Papa dan semua orang,” dia menyerahkan bukunya, di sana ia menggambar diriku yang tengah tersenyum bahagia meski tanpa rambut palsu. Di bagian bawah tertulis ‘Cancer Can’t Take Beauty from My Daughter.’ Aku tersenyum.

Di bawah temaramnya cahaya, bertepatan dengan hujan yang turun, aku memeluk Papa dengan erat, meski umurku hanya seumur jagung, namun aku bahagia karena sudah mengungkapkan semuanya pada Papa. Dan, aku sangat lega sekarang.

Ah, Jogja, terima kasih sudah menjadi saksi bisu moment berhargaku dengan Papa.

            Note: Cerpen ini telah terbit dan sukses dibukukan dalam antologi cerpen, oleh penerbit @cahayapelangimedia

Writer Jurnalis Nuansa http://nuansa.nusaputra.ac.id

Artikel di kirim setiap hari dengan tampilan yang ditentukan berdasarkan kesepakatan pengurus blog www.nuansa.nusaputra.ac.id

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours