LUCID DREAM

Estimated read time 7 min read

Halo! Saya, Shanika Layung Medal Wangi. Seorang mahasiswa baru prodi Teknik Informatika di Nusa Putra.
Saya telah melahirkan enam antologi cerpen, dan baru-baru ini menerbitkan debut Novel versi cetak. Kalo mau ngajak ngopi, langsung aja dm saya, di Instagram @shanikalmw

 

LUCID DREAM

Oleh: Shanika Layung Medal Wangi

 

            Angin berdesir, membawa aroma bunga yang bermekaran merebak. Rasa letih serta gundah yang mendera hilang begitu saja.

            Hazel masih enggan untuk bangun meski sinar matahari menyorot matanya. Meski hangatnya sedikit membakar, namun, ia merasa sejuk disaat yang bersamaan.

            Tunggu, mengapa ia tertidur di atas rumput tebal yang empuk? Bukankah tadi malam ia tertidur di atas ranjang?

            Perlahan-lahan kelopak matanya terbuka, bak kupu-kupu yang baru saja mengepakkan sayapnya untuk pertama kali, menampakkan sepasang netranya yang berwarna biru, lebih pekat melebihi milik Dewi Athena.

            Hazel tersenyum, ia tahu bahwa ia sedang bermimpi, dan ini adalah mimpi kelima yang terasa nyata baginya.

            Ah, di mana ini? Sejauh mata memandang, hanya ada lautan bunga yang sedang bermekaran. Gadis itu memutuskan untuk berjalan, kaki telanjangnya terasa ringan ketika melangkah menapaki hamparan rumput tebal bak permadani yang membentang.

            Dalam hati, Hazel bertanya-tanya. Apa di dalam mimpinya kali ini ia akan bertemu dengan pria tampan? Atau Peri kecil yang lucu? Tapi kali ini ia berharap akan bertemu dengan seorang pria tampan yang mampu membuatnya jatuh cinta setengah mati.

            Oh Hazel, dia memang gadis dewasa yang kesepian.

            Seolah-olah ada yang mendengarkan apa yang ia harapkan, kini dari ujung sana nampak sosok pria yang menunggangi kuda destrier bersurai panjang. Ia melaju ke arah Hazel berada. Dari kejauhan, zirah yang dikenakannya berkilat terpantul cahaya mentari, sementara kegagahannya sukses membuat langkah Hazel terhenti seketika.

            “Siapa itu?” ia bertanya pada dirinya sendir sambil menyaksikan kedatangan mereka yang kian mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. Dress yang ia kenakan berkibar, saat destrier berdiri dan menyambutnya hangat dengan sebuah dengkuran.

            Hazel mendongak untuk menatap sosok berzirah yang sedari tadi menjadi atensinya, lalu tercekat oleh napasnya sendiri akibat terpana. Terpana oleh wajah rupawan serta manik hijau zambrud yang dimiliki oleh pria di hadapannya.

            Keduanya bertatapan dalam bungkam, terkunci satu sama lain.

            “Siapa kau? Aku di mana?” tidak tahan berlama-lama, Hazel membuka suara, mencegah kewarasannya hilang akibat terdoktrin oleh pria super tampan di depannya ini.

            Pria itu tersenyum, “Naiklah,” ujarnya. Tangannya yang terbalut glove kulit terulur, tanpa banyak bicara, Hazel menyambutnya dan duduk di menyamping di atas destrier. Dan secara tidak langsung, tubuh mungilnya didekap, sebab pria itu harus memegang reins untuk berkuda.

            Ketika melaju, ia dapat mencium aroma maskulin perpaduan musk serta kekayuan manis dari pria yang kini mendekapnya. Lagi-lagi, Hazel hampir hilang kewarasan hanya karena mencium aroma tubuh yang sangat semerbak.

            “Siapa nama mu?” Hazel bertanya, ia tidak berani mendongak untuk menatap pria jangkung di belakangnya itu.

            “Ah, maaf karena saya bersikap tidak sopan karena tidak memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Giordo Alystair, Kepala Prajurit Alpha dari Wenceslass Kingdom,” balasnya. Suaranya yang berat terdengar sangat merdu dan menenangkan ketika menyapa indra pendengaran gadis itu.

            “Kau akan membawa ku kemana, Sir. Giordo?”

            “Saya diperintahkan menjemput mu untuk dijadikan pelayan di kastil utama Raja,” balasnya. Pelayan? Di sebuah kastil kerajaan? Hazel sangat tertarik dengan hal itu. Sejak kecil ia sangat menyukai kisah para raja dan juga bangsawan Inggris.

            Keduanya berkuda, melewati pasar yang semarak dan semua orang di sini bergaya klasik. Gaun sutra dengan jaring, korset kulit yang digunakan di luar gaun, kereta kuda, dan banyak lagi. Memangnya sekarang tahun berapa?!

            Akhirnya mereka sampai di depan pintu kerajaan, gerbang tinggi berwarna emas itu terbuka lebar ketika destrier milik Alystair mengkikik dan berdiri. Hazel yang terkejut sontak memekik dan mencekal lengan Alystair dengan erat, melihat itu, Alystair terkekeh dan menenangkan Hazel.

            “Woody memang seperti ini, ia akan mengkikik dan berdiri di depan gerbang ketika dia membawa seseorang yang ia sukai.” Ucapnya seraya turun, tak lupa ia membantu Hazel untuk mendarat dengan selamat.

            Ketika masuk, Hazel lagi-lagi dibuat terpana oleh pemandangan di sekelilingnya. Kastil klasik yang besar nan luas ini begitu mewah akan hiasan yang indah. Bangunan ini memiliki beberapa Menara dengan ujung kerucut seakan-akan menyentuh langit tak lupa ornamen-ornamen klasik dengan nilai artistik tinggi memenuhi hampir seluruh penjuru kastil.

            “Kau suka?” sebuah suara berhasil membawanya kembali dari lamunannya yang terkagum-kagum.

            “Ya! Kau tahu? Aku tidak ingin cepat-cepat bangun dari mimpi ku yang indah ini,”

            “Ini bukan mimpi,” Alystair meralat sedangkan Hazel terkekeh pelan.

            “Andai saja,”

            “Kita hampir sampai,” ungkap pria itu. Lalu Hazel dapat melihat sebuah paviliun yang di sisinya terdapat kolam kecil serta bunga yang menawan.

            Selama kakinya melangkah mereka berbincang, Hazel merasakan kehangatan serta ketenangan ketika bercengkrama dengan Alystair, ia menoleh, lalu mendongak untuk menatap wajah pria itu. Ia dapat melihat bahwa Alystair merupakan penggambaran yang sempurna. Lihat saja hidungnya yang runcing apalagi sepasang purnamanya yang berwarna hijau begitu senada dengan rambutnya yang sewarna tembaga.

            Alystair dan Hazel berpisah, ketika ia menyerahkan gadis itu kepada kepala pelayan kepercayaannya. pria itu mengingat kembali pertemuannya dengan Hazel, ia menahan senyumnya, gadis itu begitu lugu dan manis. Astaga bagaimana mungkin seisi kepala sosok Giordo Alystair dipenuhi dengan seorang gadis yang baru ia temui!

            Alystair melirik sekilas ke arah pria yang merupakan ajudan setianya, lalu memberikan kode untuk ikut dengannya.

            “Felix, bagaimana, apa semua sudah dipersiapkan?” Alystair bertanya dengan nada intonasi yang datar.

            Felix bergidik ngeri merasakan aura mengerikan dari pria itu, “Tentu saja, anda harus bersiap, Yang Mulia.”

            Sementara itu, Hazel memandangi dirinya sendiri di cermin. Gadis itu mengenakan ballgown dress berwarna biru dihiasi dengan aksen bunga dibeberapa tempat, sehingga ia terlihat sangat menawan dan berkelas. Sementara rambut pirangnya ditata sedemikian rupa, membingkai wajah cantiknya yang sudah dipoles riasan tipis.

            “Lady, saya yakin anda akan menjadi pusat perhatian nanti,” Elsa –kepala pelayan yang baru saja menyematkan crown kecil di kepala Hazel berdecak kagum karena kecantikan Hazel yang natural.

            “Kenapa aku didandani seperti ini? Memangnya aku akan menjadi pelayan di bagian apa?” Hazel bertanya-tanya, menurutnya riasan glamour ini terlalu berlebihan untuk seorang pelayan. Elsa hanya bisa menahan senyumnya lalu undur diri.

            “Lady,” tiba-tiba Alystair sudah berada tepat di belakangnya. Hazel memandangi pria itu lewat cermin. Ia tertegun.

            “Setahuku, pakaian itu hanya dikenakan oleh seorang pangeran di sebuah kerajaan. Bukan kepala prajurit,” Alystair terkekeh saat mendengar ucapan Hazel.

“Ayo kita berangkat, sebelum terlambat,” Pria itu segera menarik gadis itu dan menggandengnya. Saat keluar, ia melihat bahwa langit malam tergantung dengan indah di atas sana. Seingatnya, tadi masih siang.

Meskipun kebingungan, Hazel tetap mengikuti Alystair yang membawanya entah kemana. Toh ini hanya mimpi yang memiliki alur tidak jelas. Tapi, Hazel tidak ingin mengakhiri mimpi ini. Sangat indah untuk berakhir dengan cepat.

“Yang mulia …” “Alystair,” pria itu memotong dengan cepat.

“Baiklah, Alystair, terima kasih untuk mimpi yang sangat indah ini,” Alystair menunduk kemudian tersenyum lembut.

Akhirnya, mereka sampai di aula utama kastil, seluruh perhatian tersita pada mereka berdua yang nampak serasi, semua orang terlihat tidak percaya saat melihat sosok pangeran yang terkenal dingin tengah tersenyum dengan hangat pada gadis yang ia bawa. Ketika sampai di lantai dansa, keduanya mulai berdansa mengikuti irama lagu.

“Hazel …”  dengan tatapannya yang sayu, pria itu menatap Hazel dengan penuh damba, kening serta hidung mereka saling bersentuhan seiring dengan Gerakan dansa yang lambat.

“Alystair,” lirih Hazel.

“Hazel, aku …” belum sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah cahaya mengelilingi tubuh Hazel, pria itu menengang dan berusaha untuk mempererat pelukannya di pinggang Hazel, tetapi saat hendak mengikis jarak antara ia dan Hazel, tiba-tiba pelukannya terasa kosong, Hazel menghilang, menyisakan percikan cahaya. Pria itu tercekat kemudian luruh ke lantai.

            Sementara itu, Hazel terbangun dari mimpi di atas ranjang. Gadis itu menghela napas, tadi itu terasa nyata dan sedikit berbekas di hatinya. Namun yang ia lakukan setelah ini adalah melupakan mimpi yang baru saja terjadi seperti mimpi-mimpi yang lainnya.

            Sudah seminggu ia lewati tanpa peristiwa berarti.

            Oxford seusai hujan, toko buku yang ramai, serta satu cup kopi panas adalah perpaduan yang pas untuk saat ini. Alih-alih menikmati kopinya di bar café, Hazel lebih memilih untuk menikmatinya di sebuah gazebo taman. Ketika flat white kesukaannya hampir tandas tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya. Tetapi Hazel tidak peduli, karena sekarang pikirannya sedang berlayar kemana-mana, tidak bermuara di mana pun, hingga sebuah suara membuyarkan lamunanya.

            “Hazel,” gadis itu menoleh, tatapannya jatuh pada sepasang manik hijau yang amat familiar di benaknya. Hazel berusaha mengingatnya tetapi ingatannya sangat buruk, argh sial!

            “Apa kita pernah bertemu, Mr …” Hazel tercekat, sementara pria tampan itu menyeringai.

            “I found you, dear Hazel,”

            Giordo Alystair!

Writer Jurnalis Nuansa http://nuansa.nusaputra.ac.id

Artikel di kirim setiap hari dengan tampilan yang ditentukan berdasarkan kesepakatan pengurus blog www.nuansa.nusaputra.ac.id

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours