Titik Tumbuh, Kampus dan Paham Ekstremisme (Part 1)

Estimated read time 3 min read

Menjadi mahasiswa merupakan suatu anugerah besar yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya. Peran dan fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan, kontrol sosial, penjaga nilai dan moral serta penerus estafet bangsa merupakan suatu keistimewaan yang tidak semua anak bangsa miliki. Dalam konteks eskalasi yang lebih luas sejarah berbicara bagaimana tekanan politik terhadap kekuasaan presiden Soekarno antara tahun 1965-1966, hingga terbitnya Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966 yang menandai berakhirnya era Soekarno. Lebih baru lagi bagaimana sejarah berbicara dalam konteks sinkronis dan diakronis tahun 1998 yang menandai berakhirnya era pemerintahan orde baru tidak lepas dari fungsi dan peranan mahasiswa. Selain itu banyak aksi-aksi heroik yang telah mahasiswa lakukan dalam mengawal rezim dan pemerintahan di negeri ini.

Namun, perkembangan dinamika politik kampus saat ini cenderung pada stigma yang buruk, bagaimana tidak kampus yang seharusnya menjadi ranah akademik excellence, riset dan inovasi justru dimanfaatkan sebagai alat tunggangan politik. Nalar akademis yang mulai luntur karena akulturasi yang masuk secara terus-menerus seperti lewat organisasi-organisasi yang menyebarkan paham yang ekstrim hingga masuknya orang-orang dalam tanda kutip yang memiliki kepentingan ataupun ambisi pribadi. Kampus sebagai sebuah miniatur negeri indonesia, saat ini memiliki permasalahan yang cenderung sama seperti krisis kehilangan tokoh yang mampu dijadikan cerminan bagi masyarakat luas, paham ekstrem, hingga problematika dalam hal regulasi. Contoh yang paling konkret adalah dibuatnya sebuah peraturan yang justru menimbulkan problematika baru bukan lantas menyelesaikan masalah yang telah ada sebelumnya, lalu adanya dualisme kepemimpinan bukan hanya dalam organisasi mahasiswa saja lebih parah lagi dalam tubuh kampus itu sendiri.

Paham radikalisme yang kini masuk dalam ranah akademik kampus turut menambah permasalahan baru, modusnya bisa dengan cara melakukan dokrinisasi lewat kaderisasi secara terang-terangan atau bahkan dengan cara-cara yang lebih modern dan humanis. Paham radikalisme dalam dunia kampus ini nyata adanya yang justru tumbuh pada ruang-ruang kecil di mana kebebasan akademik mengalami stagnasi. Menurut sebuah survei dari Badan Nasional Penanggulangan Terorime (BNPT): sekitar 85 persen generasi milenial rentan terpapar paham radikalisme. Melihat data tersebut rasanya bukanlah hal yang aneh di mana paham-paham radikalisme masuk dalam dunia Pendidikan khususnya kampus karena anak muda memiliki semangat untuk eksplor hal-hal yang baru, memiliki idealisme yang tinggi serta masih memiliki pemikiran yang cenderung labil. Merupakan sebuah hal tepat sekali di mana kewajiban setiap kampus untuk mengajarkan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, Agama, serta Bahasa Indonesia sebagai langkah yang solutif dalam rangka menamkan rasa cinta serta menghalangi paham ekstrimisme tumbuh dan berkembang dilingkungan kampus.

Lantas apakah salah menjadi seorang aktivis yang kritis?

Tidak ada yang salah justru hal seperti itulah yang harus dilakukan, sekali lagi menjadi seorang mahasiswa merupakan sebuah anugerah besar yang tidak semua anak muda miliki kesempatan itu. Merugilah jika hanya menyempitkan diksi kuliah hanya sekadar belajar di dalam kelas saja. Ada begitu banyak hal yang bisa dieksplor, bagaimana cara kita berjejaring, membentuk soft skill dan hard skill, hingga bagaimana cara kita mengambil bagian dalam sebuah perubahan yang berarti. Menjadi seorang aktivis yang senantiasa kritis adalah sebuah keharusan yang tentunya harus dibarengi dengan tindakan nyata yang membangun bukan hanya sekadar bias belaka.

Writer Jurnalis Nuansa http://nuansa.nusaputra.ac.id

Artikel di kirim setiap hari dengan tampilan yang ditentukan berdasarkan kesepakatan pengurus blog www.nuansa.nusaputra.ac.id

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours