Mengenal Kembali Kesusastrastraan Sunda

Estimated read time 3 min read

Sastra sunda adalah karya kesusastraan dalam bahasa sunda atau dari daerah kebudayaan suku bangsa Sunda atau di mana mereka memberikan pengaruh besar. Sastra sunda yang mulai muncul pada abad ke-15, awalnya dituliskan di atas daun lontar, dan kemudian diatas kertas. Aksara yang dipakai pada saat itu adalah aksara sunda kuno, aksara Sunda-Jawa, dan juga huruf Arab. Pada era globalisasi ini tidak banyak anak generasi milenial mengenal bahasa sunda yang baik itu seperti apa dan tidak banyak juga anak generasi milenial tau kesusastraan sunda. Terlebih pada aksara sunda yang memiliki sedikit peminat untuk mempelajarinya.Kesusastraan bahasa sunda ini berawal dari sastra lisan. Salah satu ciri paling umum dari kesusastraan lisan ini adalah dikemukakannya karya-karya sastra yang tidak diketahui pengarangnya. Fungsi sastra dari zaman kezaman itu berubah, namun dengan sifatnta yang kreatif tidaklah turut berubah.

 Mulai dari awal taun 2000-an masayarakat Jawa Barat pada umumnya hanya mengenal adanya satu jenis aksara Jawa Barat yang kita kenal dengan sebutan Aksara Sunda. Namun perlu diperhatikan kembali bahwa sebetulnya ada empat jenis aksara yang menyandang aksara sunda itu, yaitu aksara sunda kuno, aksara sunda cacarakan, aksara sunda pegon, dan akasara sunda baku. Dalam empat jenis akasara sunda ini, aksara sunda kuno dan aksara sunda baku bisa disebut serupa namun tidak sama. Aksara sunda baku merupakan modifikasi dari aksara sunda kuno yang telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menuliskan bahasa kontemporer.modifikasi tersebut meliputi oenambahan huruf (misalnya huruf va dan huruf fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma).

Dalam sejarah, penggunaan aksara sunda kuno dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-prasasti yang terdapat di Astanagede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti kebantenan yang terdapat di Kabupaten Bekasi. Edi S. Ekajati mengungkapkan bahwa peradaban aksara sunda kuno sudah lama tergeser karena adanya ekspansi kerajaan Mataram Islam kewilayah Priangan kecuali Cirebon dan Banten. Pada waktu itu para menak sunda lebih banyak menjadikan budaya Jawa sebagai anutan dan tipe ideal. Akibatnya, kebudayaan Sunda menjadi tergeser oleh kebudayaan Jawa. Bahkan banyak para penulis dan kebudayawan Sunda yang memakai tulisan Jawa.

Aksara Sunda kuno umumnya dapat dijumpai pada naskah-naskah berbahan daun lontar yang tulisannya digoreskan dengan pisau. Naskah yang ditulis menggunakan aksara ini diantaranya adalah Bujangga Manik, Sewa ka Darma, Carita Ratu Pakuan, Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, dan Carita Waruga guru.

Dalam perkembangannya, aksara sunda kuno tidak mempertahankan huruf-huruf dari aksara kawi yang tidak digunakan dalam Bahasa Sunda Kuno. Huruf-huruf aksara kawi yang punah pada Aksara Sunda Kuno Yaitu:

1.      Huruf konsonan : meliputi huruf kha, gha, cha, jha, ṭa (cerebral), ṭha (cerebral), ḍa (cerebral), ḍha (cerebral), ṇa (cerebral), tha, dha, pha, bha, ṣa (cerebral), dan śa (palatal).

2.      Huruf vokal : meliputi huruf  ā (a panjang), ī (i panjang), ū (u panjang), ṝ (ṛ panjang), dan ḹ (ḷ panjang) sebagian besar naskah maupun prasasti tidak membedakan huruf dan tanda diakritik antara bunyi  ӗ (e pepet) dengan ӧ (e pepet panjang ), walaupun demikian beberapa naskah membedakan huruf dan tanda diakritik antara bunyi  ӗ dengan ӧ.

 

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours