Misteri Pudarnya Kebebasan Berargumentasi, Kemana Suara Lantang Mahasiswa Pergi?

Estimated read time 5 min read

Tahun 1998 menjadi sebuah saksi bisu di mana gedung parlemen diduduki oleh para mahasiswa, aktivis, media masa hingga orang-orang yang menginginkan sebuah perubahan dalam demokrasi bangsa indonesia. Rasanya masih lekas dalam ingatan bagi sekelompok orang yang ikut terlibat dalam proses meruntuhkan sebuah kekuasaan yang bernama orde baru. Ketika sebuah bangsa menginginkan perubahan namun terhalang oleh sekelompok kekuasaan, ketika negara berada dalam kondisi kritis akibat keserakahan, ketika kekuasaan menjadi sebuah alat untuk menguasasi kekayaan. Di mana ada sebuah aksi sudah tentu akan ada reaksi, di mana ada sebuah tarikan disitu akan senantiasa ada dorongan, di mana ada sebuah gaya maka di situ akan berkorelasi terhadap usaha.  Demikian juga jauh sebelum itu ketika diterbitkannya Supersemar atau surat perintah 11 Maret 1966 yang menjadi saksi bisu di mana berakhirnya era bapak proklamator dalam memimpin bangsa. Dalam lahir hingga berakhirnya sebuah orde pemerintahan tidak lepas dari orang-orang yang menginginkan sebuah perubahan, dan orang-orang yang menginginkan perubahan tersebut adalah kita para anak muda.

Sebagai seorang warga negara yang merdeka sudah sepantasnya memiliki hak-hak yang mengikat dalam dirinya apalagi sebagai seorang makhluk yang bersumber dari Tuhan yang maha Esa. Sebagai seorang warga negara sudah tentu memiliki hak-hak universal bahkan ketika masih dalam kandungan sekalipun. Disadari ataupun tidak hak-hak tersebut tertanam dalam setiap insan manusia maka lahirlah sebuah UU tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai upaya untuk mengembalikan kembali nilai-nilai kemanusian yang direbut oleh sekelompok orang. Adapun pengertian HAM menurut UU 39 tahun 1999 adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Dalam proses dari implementasi UU tersebut hak-hak dari setiap individu harus senantiasa dihormati, dilindungi, dipertahankan bahkan tidak boleh diabaikan, dikurangi, dirampas, hingga dihilangkan oleh siapapun tanpa memandang ras, suku, bahasa agama, jenis kelamin hingga status sosial lainnya.

Adapun beberapa beberapa hal yang meliputi dari HAM ini adalah hak untuk hidup dan kebebasan, hak untuk bekerja dan berpendidikan, hak  untuk merdeka dari kekerasan dan penyiksaan, hingga hak kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi di hadapan publik. Dalam proses penyelenggaran hingga implementasi tidak akan terlepas dari halangan dan tantang baik dari faktor internal maupun faktor eksternal. Salah satu hak yang mulai pudar dalam demokrasi indonesia adalah hak kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi dalam ranah publik. Kebebasan berpendapat menjadi faktor yang urgent apalagi jika menyangkut sebuah kebijakan pemerintah yang menjangkau masyarakat luas. Pelibatan peran serta masyarakat sebagai sosial control seharusnya lebih didahulukan karena tujuan akhir dari kebijakan adalah rakyat.

Banyak hal yang menyangkut kebijakan pemerintah yang out of the mark atau tidak tepat sasaran, yang seharusnya didahulukan adalah untuk kesejahteraan rakyat. Sebagaimana amanat Undang Undang Dasar (UUD) 1945 memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Seharusnya dalam setiap kebijakan yang harus terlebih dahulu didahulukan adalah untuk kesejahteraan rakyat, bukan golongan, bangsa asing ataupun para elit politik.

Jika kita telusuri lagi ke tahun 98 di mana era orde baru masih berkuasa, rakyat sangat takut untuk mengeritik kekuasaan karena sekali mengkritik nyawa menjadi sebuh taruhan. Namun saat itu, mahasiswa tampil terdepan kita masih ingat tragedi trisakti ketika mahasiswa menjadi agen perubahan yang tidak kenal akan rasa takut untuk berekspresi dan menyampaikan kritik atas kekuasaan meskipun nyawa sudah menjadi taruhan. Namun saat ini kita bukan lagi sedang berada di era orde sana, kebebasan untuk menyampaikan pendapat sudah dijamin oleh undang-undang, medianya sudah banyak yang disediakan namun partisipasi kita selaku anak muda khususnya mahasiswa masih begitu rendahnya untuk menyampaikan aspirasi, hingga kritik terhadap pemerintah.

Lantas apa yang menyebabkan hal demikian? Apakah jumlah mahasiswa sudah menjadi minoritas, kualitas mahasiswa semakin menurun, kekuasaan mengintervensi, ataukah kitanya yang enggan untuk berekspresi!

Mungkin ada benarnya pernyataan tersebut, disadari ataupun tidak dalam era demokrasi ini masyarakat indonesia khususnya kita sebagai mahasiswa yang mengatasnamakan agent of change atau agen pembawa perubahan memiliki rasa kekhawatiran untuk menyampaikan saran terutama kritik terhadap setiap kebijakan pemerintah. Padahal setidaknya kita para mahasiswa memiliki peran yang sangat penting tidak hanya kuliah untuk memperoleh gelar sarjana saja atau kuliah hanya sekedar untuk sukses. Masih banyak sekali kebijakan pemerintah yang memerlukan tindak lanjut lebih mulai dari RUU PKS, RUU minuman keras, RUU KPK, RUU UU ITE dan masih banyak lagi. Hari ini kita terlalu sibuk memikirkan nasib sendiri, kesuksesan pribadi, hingga tanpa sadar bahwa nasib bangsa yang maju akan ditentukan oleh kita di masa yang akan datang dan mulai dari hari ini. 

Memang mengejutkan ketika belakangan terdengar bahwa pemerintah menyewa buzzer dalam skala masif. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa “Total anggaran belanja pemerintah pusat untuk aktivitas yang melibatkan influencer mencapai Rp. 90,45 miliar,” kata peneliti ICW Egi Primayoga dalam konferensi pers, Kamis (20/8/2020). Tujuannya memang baik pemerintah menyewa influencer untuk mendukung program pemerintah, namun menjadi sebuah problematika baru ketika rakyat mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak tepat sasaran justru malah diserah oleh sekelompok influencer tersebut.

Di sisi lain kita sebagai mahasiswa khususnya justru bertindak sebagai minoritas dalam mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai salah, kebanyakan dari kita sebagai mahasiswa justruk asik berkuliah, asik dengan organisasinya sendiri hingga lupa bahwa kita adalah tangan-tangan rakyat. Kita yang mengatasnamakan akademisi harusnya bisa berpikir kritis, solutif, bahkan menjadi pembeda untuk membantu yang bawah serta mengingatkan mereka yang di atas.

Jangan takut untuk bersuara lantang menggertak kekuasaan, jangan takut berargumentasi terhadap kebijakan apalagi salah sasaran. Suara kita akan serentak apabila banyak, suara kita akan lunak apabila hanya sendirian. Meskipun tangan dan kaki terikat tali ketidakadilan, jangan hentikan mulut untuk tetap bersuara membela keadilan atas nama rakyat dan perubahan. Kalau kita takut dengan bersuara apa bedanya dengan era orde baru atau jangan-jangan sekarang pun telah terlahir era neo-moderanisme orde baru sebagai pertanda mulai runtuhnya demokrasi?

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours